Laman

Jumat, 17 Oktober 2014

contoh makalah geografi

PEMBANGUNAN ANTARWILAYAH
SECARA BERIMBANG

MAKALAH
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Kelompok
Mata Kuliah Perencanaan Wilayah





 gambar sekolah/instansi


Disusun oleh :
Kelompok II (Kelas C)
Winda Putri Ruchiana           082170106
Ripa Nurdini                          082170107
Teti Novianti                         082170083
Napiin Nurohman                  082170105

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2011


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini, tak lupa shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya dan kita sebagai umatnya yang setia hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah yang berjudul “pembangunan antarwilayah secara berimbang”, penulis menyadari keterbatasan kemampuan dan pengetahuan sehingga penyusunan makalah ini masih jauh dari memadai dan dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun sebagai bekal tambahan dimasa yang akan datang. Selain itu juga dalam penulisan makalah ini terdapat hambatan – hambatan yang penulis temui, namun berkat bantuan dari berbagai pihak semua hambatan dapat penulis atasi.
Demikianlah penulis sampaikan dengan segala kerendahan hati, dan penulis mempunyai harapan semoga makalah ini bisa di terima, dan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi para pembaca yang budiman.



Tasikmalaya,    Mei 2011


Penulis




DAFTAR ISI

Kata Pengantar..............................................................................................       i
Daftar Isi.........................................................................................................      ii
BAB I   Pendahuluan
A.      Latar Belakang...........................................................................       1
B.       Rumusan Masalah......................................................................       2
C.       Tujuan Makalah.........................................................................       3
D.      Sistematika Penulisan................................................................       3
BAB II              Pembahasan
A.      Urgensi Pembangunan Antarwilayah Secara Berimbang..........      6
B.       Kasus Negara – Negara Sedang Berkembang...........................      11
C.       Pembangunan Berimbang Sebagai Isu Global..........................      15
D.      Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Disparitas
Antarwilayah Yang Harus Diatasi Dengan Membangun Keterkaitan...............................................................................        22
E.       Upaya Untuk Membangun Keterkaitan Dan Mengatasi Masalah Disparitas Antarwilayah............................................................      25
BAB III Penutup
A.      Simpulan....................................................................................      27
B.       Saran..........................................................................................      29
Daftar Pustaka



BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Salah satu ciri penting pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan berimbang (balanced development). Isu pembangunan wilayah atau daerah berimbang tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daearah (equally developed), juga tidak menuntut pencapaian tingkat industrilisasi wilayah / daerah yang seragam, juga bentuk – bentuk keseragaman pola dan struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (self sufficiency) setiap wilayah / daerah.  Hakekatnya pembangunan yang berimbang ialah terpenuhinya potensi – potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah / daerah yang jelas – jelas beragam (Bhinneka tunggal ika) yang disesuaikan dengan potensi ekonomi daerah tersebut dalam berbagai aspek ekonomi seperti potensi sentra kehutanan, pangan, palawija, perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya. Daya dukung lingkungan menjadi sangat penting ketika perencanaan pembangunan wilayah yang berbasis pada potensi – potensi  ekonomi yang dimiliki pada daerah yang jelas beragam antar daerahnya. Pada dasarnya potensi tersebut saling berkaitan dengan wilayah – wilyah sekitarnya, karena sumberdaya yang ada saling menutupi kekurangan pada wilayah lainnya sehingga menjadi syarat penting bahwa kapasitas pembangunan harus berimbang.
Salah satu ciri penting yang perlu diperhatikan juga adalah masalah buruknya akses masyarakat di sektor tradisional terhadap permodalan pada lembaga keuangan modern serta kekuatan secara memonopoli para pemilik modal dalam pasar uang dan tidak adanya barang jaminan untuk memperoleh pinjaman modal sebagai anjungan dalam transaksi peminjaman modal. Sebagai implikasinya tingkat bunga yang sangat tinggi sehingga semakin menekan produktivitas sektor ekonomi tradisional, tingkat bunga tinggi berimplikasi terhadap periode produktivitas, yang artinya cepat atau lambat ketika bisnis itu tidak sesuai dengan perencanaan maka akan berdampak kolaps usaha tersebut karena pengeluaran yang tetap tiap periodenya tidak sesuai dengan pendapatan pada setiap periodenya. Sektor modern pada umumnya berada di aspek kewilayahan. Sektor modern pada umumnya berada di perkotaan sedangkan sektor tradisional berada di pedesaan. Ketimpangan tingkat produktivitas antara kota dan desa mengakibatkan ketimpangan penanaman modal dan pembangunan secara signifikan antara perkembangan wilayah kota yang cukup pesat dengan perkembangan wilayah pedesaan yang lambat.
Berdasarkan pernyataan di atas, penulis tertarik untuk membahas tentang pengembangan wilayah. Pembahasan tersebut penulis wujudkan dalam makalah yang berjudul “Pengembangan Wilayah Secara Berimbang”.
B.       Rumusan Masalah
Berdasarkan hal yang dikemukakan dalam latar belakang maka dikemukakan rumusan masalah, sebagai berikut :
1.         Bagaimana urgensi pembangunan antarwilayah secara berimbang ?
2.         Faktor – faktor apa yang menyebabkan terjadinya disparitas antarwilayah serta upaya apa yang dilakukan untuk membangun keterkaitan dan mengatasi masalah disparitas antarwilayah ?
C.      Tujuan Makalah
Adapun tujuan dari makalah ini adalah, sebagai berkut :
1.         Untuk mengetahui urgensi pembangunan antarwilayah secara berimbang, dan untuk mengetahui kasus negara – negara yang sedang berkembang.
2.         Untuk mengetahui faktor – faktor penyebab terjadinya disparitas antarwilayah yang harus diatasi dengan membangun keterkaitan.
3.         Untuk mengetahui upaya untuk membangun keterkaitan dan mengatasi masalah disparitas antarwilayah.
D.      Sistematika Penulisan
Untuk mendukung terhadap penyusunan makalah yang baik, maka makalah hendaknya disesuaikan dengan sistematika sebagai berikut :
1.         Lembar judul,  memuat :  judul makalah, nama,  NIM, nama tempat perguruan tinggi, tahun.
2.         Kata pengantar.
3.         Daftar isi.
4.         Batang tubuh makalah, terdiri dari :
a.         Pendahuluan
Pendahuluan berisi pengantar ke permasalahan pokok yang memberikan gambaran tentang batasan dan tujuan penulisan. Pada bab ini dibagi dalam 3 sub bab, sebagai berikut :
1)       Latar belakang.
Memberikan penjelasan tentang manfaat / pentingnya timbulnya judul / topik untuk dibahas.
2)       Rumusan masalah.
Memberikan penjelasan tentang ruang lingkup permasalahan yang rnenjadi batasan pembahasan.
3)       Tujuan makalah.
Memberikan penjelasan tentang maksud penulisan makalah dan tujuan berisi tentang hal yang diinginkan pada penulisan makalah, sesuai dengan konteks permasalahan yang akan dibahas.
4)       Sistematika penulisan.
b.        Pembahasan
Pembahasan merupakan isi dari makalah, berupa uraian yang relevan dengan ruang lingkup. Isi pembahasan meliputi :
1)        Uraian yang membahas pemecahan masalah sesuai dengan isi topik.
2)        Dalam menguraikan pembahasan ini dapat menggunakan bahan referensi yang resmi.
3)        Bila mungkin dapat memuat faktor – faktor penentu (faktor pendukung dan faktor penghambat).
4)        Pada dasarnya uraian tersebut adalah untuk menjawab permasalahan dengan alternatif pemecahan masalah.
c.         Penutup
Pada bab yang terakhir ini berisi tentang kesimpulan dan saran yang pada dasarnya merupakan penegasan inti makalah yang dirumuskan dengan jelas, singkat, dan tegas. Isi penutup meliputi :
1)        Kesimpulan
Berisi jawaban dan permasalahan dalam bentuk resume atau ikhtisar dari permasalahan.
2)        Saran
Saran yang dimaksud di sini, merupakan usul atau pendapat dari penulis yang mengacu pada materi pembahasan. Hendaknya dikemukakan secara jelas dan kemungkinan dapat dilaksanakan.
5.         Daftar pustaka
Merupakan acuan dalam penulisan makalah baik dari buku, surat kabar, internet, dan sumber tertulis lainnya.





BAB II
PEMBAHASAN
A.      Urgensi Pembangunan Antarwilayah Secara Berimbang
Disparitas regional merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran dan tingkat pembangunannya, disparitas pembangunan merupakan masalah pembangunan antarwilayah yang tidak merata. Pada banyak negara, pembagian ekonomi yang tidak merata telah melahirkan masalah – masalah sosial politik. Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun ekonomi terencana secara terpusat, kebijakan – kebijakan pembangunan diarahkan untuk mengurangi disparitas antarwilayah. Pendekatan pembangunan yang sangat menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya kesenjangan – kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat – pusat pertumbuhan, sementara wilayah – wilayah hinterland mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Secara makro dapat kita lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan, misalnya antara desa – kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa dan luar Jawa, dan sebagainya.
Kesenjangan ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sanagt merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa. Ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah / kawasan di satu sisi terjadi dalam bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Ketidakseimbangan pembangunan menghasilkan struktur hubungan antarwilayah yang memebentuk suatu interaksi yang saling memperlemah. Wilayah / kawasan hinterland menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash), yang mengakibatkan aliran bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju akumulasi nilai tambah di kawasan – kawasan pusat pertumbuhan.
Ketidakseimbangan pembangunan inter – regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan regional yang sub – optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi – potensi pertumbuhan pembangunan agrerat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter – regional yang sinergis (saling memeperkuat). Menyadari terjadinya ketidaksimbangan pembangunan inter – regional, Pemerintah Indonesia telah menyelenggararkan berbagai program pengembangan wilayah / kawasan. Pada awalnya, strategi program – program pengembangan kawasan lebih didasarkan atas strategi dari sisi pasokan (supply – side strategy), yakni berupa program – program pengembangan kawasan yang didasarkan atas keunggulan – keunggulan kompararatif (comparative advantages) berupa upaya – upaya peningkatan produksi dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya dukung (carrying capacity), kapabilitas (capability) dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah.
Selain sisi pasokan dan permintaan, strategi pembangunan kawasan harus didasarkan atas prinsip strategi sinergi keterkaitan (linkages) antarkawasan. Strategi berbasis keterkaitan antarkawasan pada awalnya dapat diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antarkawasan melalui pembangunan berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan, pelabuhan, jaringan komunikasi, dan lain – lain) yang dapat menciptakan keterkaitan fisik antarkawasan. Keterkaitan fisik harus disertai kebijakan – kebijakan yang menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis antarkawasan. Pengembangan keterkaitan yang salah (tidak tepat sasaran) dapat mendorong aliran backwash yang lebih masif, yang pada akhirnya justru memperparah kesenjangan dan ketidakseimbangan pembangunan inter – regional. Oleh karena itu, keterkaitan inter – regional yang diharapkan adalah bentuk – bentuk keterkaitan yang sinergis (generatif) atau saling memperkuat, bukan saling memperlemah atau eksploitatif.
Pemberlakuan kebijakan Otonomi Daerah sejak tahun 2000 (penerapan UU 22 / 1999), yang direvisi dengan UU 32 / 2004, dipandang sebagai bagian dari upaya mengatasi ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan antarwilayah (inter – regional), termasuk ketidakseimbangan kewenangan antar pusat dan daerah. Dalam kerangka wilayah sebagai suatu sistem yang tersusun atas komponen – komponen yang memiliki lembaga – lembaga fungsional, program – program pengembangan kawasan pada umumnya dilaksanakan dalam kaidah fungsi suatu unit kawasan berdasarkan karakteristik sumberdaya alam (natural resources), sumberdaya manusia (human capital), sumberdaya buatan (man – made capital), dan sumberdaya sosial yang dimilikinya. Beberapa program ini di antaranya berupa program – program yang dikembangkan oleh instansi lintas sektoral (terutama Bappenas, Depdagri dan BPPT), yakni antara lain Kawasan Pengembangan Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Andalan (KADAL), Poperty Alleviation trough Rural – Urban Linkages Program (PARUL), Kawasan Sentra Produksi (KSP), dan Program Pengembangan Kawasan Tertinggal (KATING). Semua program ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan disparitas antarwilayah. Namun sayangnya, kecuali PARUL dan Agropolitan, program – program ini seacra umum masih di dominasi oleh pemikiran teori pusat – pusat pertumbuhan (growth pole) yang lebih menekankan pada pentingnya pengembangan pusat – pusat pertumbuhan baru untuk membangun suatu wilayah, disamping dominannya strategi – strategi pembangunan dari sisi pasokan (supply).
Teori growth pole sebenarnya kurang populer di kalangan ahli – ahli pengembangan wilayah karena kekurangefektifannya ketika diterapkan. Namun pada saat ini teori inilah yang paling populer di kalangan birokrat dan sering dilaksanakan dalam proses pembangunan karena pelaksanaannya lebih mudah dan hasilnya lebih cepat terlihat. Wilayah – wilayah yang menjadi pusat, akan berkembang dengan cepat dan signifikan. Namun sebenarnya kondisi ini seringkali tidak menjamin sustainability karena akan timbul disparitas baru dan interaksi yang terbentuk antara pusat dan hinterland pada akhirnya akan kembali saling memperlemah.  Teori growth pole salah satu alat utama yang dapat melakukan penggabungan antara prinsip – prinsip kosentrasi dengan desentralisasi. Teori yang menjadi dasar strategi kebijakasanaan pembangunan wilayah melalui industri daerah. Pembangunan atau pertumbuhan tidak terjadi disegala tata ruang. Akan tetapi terjadi hanya terbatas pada beberapa tempat tertentu dengan variabel – variabel yang berbeda intensintasnya. Salah satu cara untuk menggalakan kegiatan pembangunan suatu daerah tertentu melalui pemanfaatan aglomeration economies sebagai faktor pendorong utama.
Teori growth pole, secara fungsional adalah suatu lokasi kosentrasi kelompok usaha atau cabang industri yang sifat hubungannya memiliki unsur – unsur kedinamisan sehingga mampu mestimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar (daerah belakangnya). Secara geografis, suatu lokasi yang banyak memiliki fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai mcama usaha tertarik untuk berlokasi didaerah yang bersangkutan dan masyarakat senang datang memanfaatkan fasilitas yang ada.
Salah satu kelemahan utama dalam konsep – konsep program pengembangan kawasan yang ada selama ini adalah ketidakjelasan batasan dari kawasan – kawasan yang dimaksudkan, sehingga menyulitkan sistem monitoring, evaluasi dan pengendalian program itu sendiri. Dengan demikian berbagai fenomena tidak tercapainya sasaran – sasaran program serta terjadinya tumpang tindih antar program banyak dijumpai di lapangan. Menurut Murty (2000), pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan mereka. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan kepastiannya. Dengan demikian, diharapkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling memperkuat di antara semua wilayah yang terlibat.
B.       Kasus Negara – Negara Sedang Berkembang
Disparitas pembangunan regional cukup semarak di negara – negara berkembang. Dispariatas yang diobservasi di negara – negara ini dapat dipaparkan pada bagian berikut :
1.         Disparitas pendapatan dan infrastruktur sosial regional.
Hasil observasi menunjukan bahwa secara umum disparitas regional di negara – negara yang kurang maju jauh lebih lebar daripada yang terjadi di negara – negara maju (Williamson, 1965). Di negara – negara berkembang, lokasi dan daerah tertentu yang diinginkan telah menarik investasi, angkatan kerja dan para pengusaha secara terus – menerus. Proses polarisasi tidak dapat menunjukkan suatu tanda pembalikan (UNCRD, 1976; Unikel, 1976; Gugler and Flanagan, 1978). Polarisasi aktivitas dan perkampungan berkesinambungan ini dinyatakan pada dua fakta ; pertama, faktor distribusi infrastruktur sosial ekonomi warisan lama dan kedua, kebijakan sektoral temporer.
Infrastruktur sosial ekonomi yang diwarisi sebagian besar negara – negara berkembang, secara spasial menceng dan dirancang untuk tunduk kepada kepentingan eko-politik kolonial. Akhirnya, selama awal periode pascaperang, hal yang sama mempunyai peran penting di dalam membentuk perkembangan aktivitas industri dan pola – pola perkampungan (Morse, 1975; Cross, 1979).
Kebijakan – kebijakan yang memandang ke dalam, yang diikuti oleh negara – negara berkembang ini menonjolkan polarisasi di lokasi –lokasi yang menjadi tempat yang disenangi. Gabungan produk dan tekhnologi di negara – negara ini mengalami transformasi yang cepat dan memberikan kenaikan terhadap aktivitas industri yang lebih menguntungkan untuk dijalankan di atau sekitar pusat metropolitan. Kecenderungan pertumbuhan semacam itu menghasilkan pembentukan kompleks – kompleks perkotaan yang terkonsentrasi dengan fasilitas infrastruktur sosial ekonomi yang lebih baik dalam hubungannya dengan wilayah – wilayah lain.
Hasil observasi juga menunjukkan tidak adanya tendensi menuju kesamaan atau keberimbangan spasial yang lebih baik di kebanyakan negara – negara yang sedang berkembang. Hal penting yang perlu dipahami adalah tingkat pendapatan per kapita dari negara – negara yang berbeda telah ditemukan tidak ada hubungannya dengan tingkat disparitas. Ketidakseimbangan spasial pembangunan lebih merupakan fungsi dari organisasi ekonomi.
2.         Hubungan disparitas desa – kota dengan standar hidup.
Ada perbedaan besar yang nyata antara standar hidup penduduk perkotaan dan perdesaan di negara – negara berkembang, dengan beberapa pengecualian untuk beberapa negara sosialis dimana terdapat usaha yang sengaja dibuat untuk mengurangi disparitas tersebut. Daerah – daerah perdesaan di negara – negara yang sedang berkembang dengan proporsi penduduk miskinnya yang tinggi, tingkat ketersediaan pelayanan jasa – jasa sosial rendah / terbatas, ketersediaan infrastruktur sosial ekonomi sangat terbatas dan ketersediaan lapangan kerja dengan tingkat upah yang baik terbatas, berkolerasi dengan keadaan perbedaan pendapatan per kapita desa – kota yang sangat tinggi.
Di Indonesia, gejala serupa terlihat pada beberapa kasus sebagaimana ditunjukkan oleh studi Martina (2005) dan Adifa (2007). Di hampir semua negara berkembang, pada kawasan perdesaan tingkat kesehatan, sanitasi perumahan dan penyediaan air minum berada pada tingakat yang sangat rendah (UNECLA, 1971; Gish, 1972; Sharpston, 1972; Gilbert, 1974; Friedmann and Douglas, 1976).
3.         Peranan kota.
Perbedaan pandangan mengenai peranan sistem perkotaan di dalam proses pembangunan nampaknya masih terus berlangsung. Masalah ini tidak hanya terbatas pada negara – negara berkembang, melainkan juga ditemukan di negra – negara yang mempunyai derajat industrialisasi yang relatif tinggi. Keunggulan perkotaan secara umum dapat juga ditemukan pada negara – negara yang kecil, sangat terpusat, dan yang termasuk kelompok pendapatan menengah (Berry, 1961; Mehta, 1964; Mills, 1986).
Meskipun ada perbedaan pendapat dalam memandang hubungan antara keunggulan kota dan tingkat pembangunan, setidaknya dipahami bahwa perkotaan telah mempengaruhi distribusi fungsional pusat – pusat perkampungan dan pusat – pusat aktivitas. Secara fungsional, dampak pertumbuhan sistem perkotaan nampaknya tidak banyak membantu perkembangan pembangunan regional berimbang.
4.         Kecenderungan migrasi.
Di negara – negara berkembang, interaksi faktor – faktor seperti tingginya tekanan penduduk terhadap ketersediaan lahan yang dapat diolah, rendahnya kesempatan kerja dengan tingkat upah gaji yang baik, serta harapan untuk bekerja dan mendapatkan kehidupan yang lebih baik, secara konstan terus mendorong kecenderungan migrasi desa kota. Implikasi dari migrasi desa kota yang berkelanjutan, telah menumbuhkan perkampungan – perkampungan kumuh di perkotaan negara – negara yang sedang berkembang. Selanjutnya keterbatasan infrastruktur di perkotaan telah memicu masalah – masalah sosial dan politik di berbagai tempat. Kondisi ini telah mendorong pemerintah di berbagai negara melakukan pengendalian langsung atas mobilitas penduduk seperti Cina, ataupun secara tidak langsung melalui perbaikan standar dasar perekonomian di daerah perdesaan seperti Malaysia, Brazil, dan India.
Kebijakan pengendalian langsung yang dilakukan oleh pemerintah Cina telah berhasil secara administratif, namun secara individual masyarakat harus membayar harga yang mahal bagi perekonomian yang diderita dari ketidaktepatan buruh. Pendekatan pengendalian secara tidak langsung melalui pembangunan daerah perdesaan seperti dalam kasus Indonesia, Brazil, dan Malaysia, ditemukan dengan sedikit keberhasilan, namun terbukti memakan anggaran publik yang sangat besar.
Pendekatan lain untuk mengurangi tekanan pada kota – kota besar adalah dengan pengembangan kota – kota kecil dan menengah serta mendorong pertumbuhan kota – kota baru di daerah – daerah yang tertinggal melalui berbagai bentuk struktur insentif. Pendekatan ini telah dilakuakan di negara – negara seperti Peru, India, Thailand, Korea Selatan, dan lain – lain, namun tidak memperlihatkan banyak keberhasilan kecuali di Korea Selatan.
Migrasi desa kota secara luas merupakan hasil dari ketidakberimbangan pembangunan, dan secara spasial umumnya tidak dapat dipecahkan dengan memuaskan, baik dengan pendekatan langsung maupun tidak langsung. Dalam berbagai kasus, biaya dan kerugian yang ditimbulkan oleh masalah – masalah terkait dengan migrasi desa kota terlihat dari besarnya anggaran pengeluaran publik atau berbagai bentuk masalah (termasuk kejahatan) sosial cukup tinggi dibandingkan dengan keuntungannya.    
C.      Pembangunan Berimbang Sebagai Isu Global
Ide pembangunan berimbang berawal dari ide Stalin yang menginginkan berkembangnya setiap negara yang berada di bawah kesatuan Soviet Rusia, agar memiliki ketahanan yang cukup dalam menghadapi serangan dari negara – negara musuh. Namun sebenarnya masalah kesenjangan pembangunan antarwilayah / daerah lebih relevan dan lebih kuat terjadi di negara – negara yang sedang berkembang. Salah satu dari trend kebijakan yang kuat pada negara – negara ekonomi pasar yang maju dan negara – negara dengan sistem ekonomi yang terencana secara terpusat, telah mengalami redistribusi spasial pemukiman dan aktivitas – aktivitas. Trend ini dapat dicirikan secara umum oleh dua penekanan utama, yaitu menahan pertumbuhan berlebihan kota – kota besar (di antaranya menekankan urbanisasi berlebih) dan pembangunan wilayah – wilayah yang tertinggal atau miskin.
Pada negara – negara yang menganut sistem ekonomi pasar yang maju, kebijakan – kebijakan tersebut ditujukan untuk membatasi pertumbuhan kota – kota yang sangat besar dan pengendalian letak kota, telah diintensifkan terutama untuk pertumbuhan lokasi – lokasi yang diinginkan secara langsung untuk aktivitas ekonomi desentralisasi di dalam ruang ekonomi. Negara – negara ini telah menggunakan berbagai ukuran termasuk pelanggaran hukum dan disinsentif finansial untuk investasi modal di kota – kota besar seperti kasus di Denmark, Jerman dan Inggris, serta dukungan finansial dan insentif yang lain yang ditujukan pada promosi pembangunan daerah – daerah yang kurang maju dan pusat – pusat yang diinginkan. Beberapa negara yaitu Perancis dan Belanda telah mengadopsi strategi – strategi untuk mendapatkan distribusi spasial yang optimal dari permukiman dan aktivitas. Negara – negara maju sengaja membentuk strategi – strategi untuk memulai pembangunan wilayah – wilayah tertinggal.
Inggris telah menerapkan instrumen seperti subsidi, kelonggaran pajak, dan sistem pengendalian kesempatan kerja untuk diarahkan menuju wilayah – wilayah yang tertahan potensinya. Italia telah menggunakan pendekatan komprehensif untuk pembangunan Mezzogiorno, di mana dengan insentif memicu pertumbuhan ekonomi yang didahului dan di dorong oleh perindustrian dan penyediaan infrastruktur sosial maupun fisik dan diversifikasi ekonomi. Finlandia telah menekankan kebijakan untuk mendorong pembangunan wilayah utaranya yang mengalami penderitaan dari eksodus perdesaan ke daerah perkotaaan di bagian selatan selama tahun 1960-an. Dengan memberikan subsidi pada berbagai wilayah di utara, Finlandia telah berusaha untuk membangun wilayh tersebut secara ekonomis dan membuat kondisi untuk pembangunan demografis nasional yang berimbang. Kanada telah membangun kota – kota kelas menengah di dalam kerangka kerja strategi pembangunan regional khususnya di daerah bagian timur negara itu. Belgia, Denmark, Irlandia, dan Belanda telah menyediakan penyokong pembangunan regional dengan cara desentralisasi administratif, memberi lebih banyak otoritas kepada pemerintahan lokal, dan membuat otoritas regional terpisah.
Negara – negara yang dikembangkan dengan sistem perekonomian terencana secara terpusat, umumnya berkembang dengan strategi empat tahap di dalam sistem pembangunan serta sistem distribusi aktivitas dan permukimannya.
1.         Konsentrasi investasi untuk industrialisasi yang cepat di pusat – pusat dimana infrastruktur pendukung yang diperlukan sudah tersedia atau dapat dibuat secara cepat terutama di kota – kota besar.
2.         Pertumbuhan yang terencana dan mengembangkan pusat – pusat baru yang permanen.
3.         Mengendalikan pertumbuhan pusat – pusat yang mengalami perluasan, pengembangan pertumbuhan pusat – pusat yang kecil dan pembentukan pusat – pusat baru, khususnya wilayah – wilayah yang kurang maju.
4.         Pertumbuhan pusat – pusat perdesaan yang didasarkan pada pembangunan industri pengolahan hasil pertanian.
Dari uraian keempat tersebut dapat diketahui bahwa negara – negara dengan perencanaan terpusat telah berusaha untuk membangun hierarki permukiman penduduk dengan sistem produksi. Struktur ini dirancang untuk memungkinkan pertumbuhan pusat – pusat perkotaan yang terkontrol melalui kebijakan – kebijakan yang dengan sengaja mempromosikan investasi pada pusat – pusat yang diharapkan untuk pertumbuhan dan pembatasan investasi di wilayah lain.
Para pembuat keputusan di negara – negara maju pun telah berusaha mengurangi ketidakseimbangan dan keberimbangan pembangunan spasial. Studi – studi empiris menunjukkan bahwa di negara – negara dengan sistem ekonomi pasar yang maju, proses konsentrasi spasial selama fase industrialisasi yang cepat, akhirnya telah mentransformasi kematangannya dengan proses dipersi baik di dalam wilayah maupun antarwilayah selama fase kematangan post – industri (Williamson, 1965; Kuznets, 1966; El Shakhs, 1972). Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa maslah ketidakseimbangan dan pembangunan regional telah sepenuhnya dihapuskan dari negara – negara maju. Hanya permasalahannya kurang mencolok dibandingkan negara – negara yang sedang berkembang (Richardson, 1973).
Negara – negara dengan ekonomi yang terpusat dapat memperkuat perdesaan melalui perencanaan aktivitas spasial secara cukup efektif. Sedangkan pengalaman ekonomi pasar negara – negara maju menunjukkan penggabungan pendekatan polarisasi perkotaan dan industri pada dan sekitar lokasi – lokasi tertentu yang diinginkan, dapat mempromosikan pembangunan yang lebih berimbang. Di sejumlah daerah metropolitan, terjadi pengurangan penduduk dan desentralisasi aktivitas ekonomi. Hal ini menunjukan telah terjadinya pergeseran trend pertumbuhan dari kota – kota besar ke kota – kota yang jumlah penduduknya kecil (Drewett and Ross, 1981).
Trend perubahan aktivitas yang jauh dari kota – kota metropolitan yang besar telah diobservasi di sebagian besar negara – negara maju. Di negara – negara ini, kesempatan kerja di bidang manufaktur di kota – kota metropolitan telah mengalami penurunan secara cepat. Perubahan struktur di sektor manufaktur telah membuat kota – kota kecil menjadi lokasi yang lebih menarik untuk investasi. Kebijakan pemerintah dalam penyediaan insentif dan disinsentif untuk menahan pertumbuhan ukuran kota – kota metropolitan dan pembangunan wilayah – wilayah yang mengalami perlambatan, telah mendukung proses penyebaran.
Di negara – negara maju, infrastruktur sosial ekonomi disebar di seluruh bagian di negara tersebut. Hal ini merupakan hasil dari awal industrialisasi merdeka. Jaringan infrastruktur yang disebarkan secara besar – besaran ini telah membantu menyebarkan permukiman dan aktivitas di wilayah tersebut. Akan tetapi, pertumbuhan lokasi industri yang tampak di dalam negara ini, telah semakin terkonsentrasi ke daerah – daerah di dekat kota dan yang berada di antara kota – kota besar sepanjang koridor pengangkutan.
Keberimbangan kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu mengurangi disparitas antarwilayah, dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan ekonomi wilayah secara menyeluruh. Dalam perspektif paradigma keterkaitan antarwilayah, kemiskinan di suatu tempat akan sangat berbahaya bagi wilayah lainnya, oleh karenanya kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan secara berkeadilan ke seluruh wilayah.
Setiap pemerintah, baik di negara yang sedang berkembang maupun belum berkembang selalu berusaha untuk meningkatakan keterkaiatan yang simetris antarwilayah dan mengurangi disparitas karena beberapa alasan (Murty, 2000), antara lain :
1.         Untuk mengembangkan perekonomian secara simultan dan bertahap.
Jika setiap wilayah atau kawasan bisa tumbuh dan berkembang, maka mereka akan membentuk hubungan mutualisme yang saling menguntungkan.
2.         Untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih cepat.
Apabial kemajuan ekonomi negara ditopang oleh pertumbuhan semua wilayah atau kawasan secara simultan sesuai dengan potensinya masing – masing, maka pertumbuhan ekonomi akan berjalan dengan lebih cepat.
3.         Untuk mengoptimalkan pengembangan kapasitas dan mengkonservasi sumberdaya.
Ketika suatu wilayah memanfaatkan sumberdayanya secara lebih optimal, maka sumberdaya tersebut akan mengakibatkan wilayah atau kawasan tersebut menjadi berkembang.
4.         Untuk meningkatakan lapangan kerja.
Berkembangnya infrastruktur dan penyebaran industri di daerah hinterland (backward region) akan meningkatkan lapangan kerja yang lebih luas di semua wilayah atau kawasan.
5.         Untuk mengurangi beban sektor pertanian.
Produktivitas per kapita sektor pertanian di Indonesia sangat rendah karena terlalu banyak penduduk yang bekerja di sektor ini. Dengan pembangunan wilayah atau kawasan yang berimbang, sektor – sektor non pertanian yang relevan juga akan berkembang di daerah hinterland, dan mampu menyerap limpahan tenaga kerja di sektor pertanian.
6.         Untuk mendorong desentralisasi.
Disparitas antarwilayah akan mendorong terjadinya sentralisasi. Wilayah berkembang mempunyai kapasitas untuk menarik investasi, industri, dan institusi – institusi perekonomian baru, sedangkan wilayah – wilayah yang tertinggal tidak mempunyai kapasitas tersebut.
7.         Untuk menghindari konflik lepas kendali dan instabilitas politik disintegratif.
Suatu wilayah akan cenderung melepaskan diri apabila terlalu kaya dan tidak memiliki kesadaran riil yang memadai bahwa kekayaan tersebut terbangun dari satu kesatuan sistem keseluruhan. Sebaliknya suatu wilayah juga akan cenderung melepaskan diri apabila terlalu miskin dan merasa tidak mendapat manfaat ekonomi yang signifikan dari struktur keterkaitan yang ada.
8.         Untuk meningkatkan ketahanan nasional.
Apabila semua wilayah mampu tumbuh dan berkembang yang berbasis pada struktur keterkaitan antarwilayah yang kokoh dan saling memperkuat, maka serangan dan iming – iming musuh pada wilayah – wilayah tertentu tidak akan mampu memecah belah serta melumpuhkan perekonomian dan kesatuan bangsa.
D.      Faktor – Faktor Penyebab Terjadinya Disparitas Antar wilayah Yang Harus Diatasi Dengan Membangun Keterkaitan

Terdapat beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antarwilyah. Faktor – faktor ini terkait dengan variabel – variabel fisik dan sosial ekonomi wilayah. Faktor – faktor utama ini antara lain, adalah : geografi, sejarah, politik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial budaya dan ekonomi. Tingkat perkembangan dari suatu masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung pada apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk organisasi dan kehidupan perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting, terutama yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Sebagai contoh, sistem feodalistik atau sistem kolonial cenderung tidak memberikan iklim yang dapat memacu prestasi dan kerja keras.
Sedangkan pada sistem industri kapitalistik, dimana para pekerja merasa dieksploitasi dan dibatasi dengan peraturan dan sistem yang ketat dapat menyebabkan kurangnya inisiatif dan kreativitas terutama untuk menumbuhkan usaha – usaha kecil dan menengah. Sebuah sistem yang memberikan kebebasan untuk bekerja dan berusaha akan mampu berkembang dengan lebih cepat. Disparitas antarwilayah juga bisa diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Salah satu contoh nyata adalah kebijakan pembangunan di beberapa wilayah di Indonesia dan beberapa negara lainnya yang lebih menekankan pertumbuhan dengan membangun pusat – pusat pertumbuhan telah menimbulkan kesenjangan antarwilayah yang luar biasa. Trickle down effect yang diharapkan secara efektif tidak terjadi, namun dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect, yaitu pengurasan sumberdaya secara berlebihan dari wilayah hinterland.
Ketidakefisienan di bidang administrasi juga dapat menyebabkan terjadinya disparitas antarwilayah. Wilayah – wilayah yang administrasinya efisien akan mampu mengundang investasi, karena perijinannya tidak terlalu rumit. Sebaliknya daerah dengan kinerja administrasi buruk tidak diminati investor. Hal itulah yang menjadi salah satu alasan mengapa para investor kurang terdorong untuk menanamkan investasinya di daerah – daerah Indonesia, yaitu karena perijinannya yang terlalu rumit dan berbelit – belit.
Faktor – faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antarwilayah di antaranya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.         Faktor ekonomi yang terkait dengan perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi, dan perusahaan.
2.         Faktor ekonomi yang terkait dengan akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan kemiskinan (cumulative causation of poverty propensity).
3.         Faktor ekonomi yang terkait denagn pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. Spread effect yang diharapkan terjadi, ternyata lebih lemah dibandingkan dengan backwash effect. Hal ini mengakibatkan wilayah atau kawasan yang beruntung akan semakin berkembang, sedangkan wilayah atau kawasan yang kurang beruntung akan semakin tertinggal.
4.         Faktor ekonomi yang terkait dengan distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi, keterbatasan keterampilan tenaga kerja, dan sebagainya.


E.       Upaya Untuk Membangun Keterkaitan Dan Mengatasi Masalah Disparitas Antar wilayah

Untuk membangun keterkaitan antarwilayah dan mengurangi terjadinya disparitas antarwilayah, maka secara umum ada beberapa upaya yang dapat dilakuakan secara simultan antara lain :
1.         Mendorong pemerataan investasi.
Investasi harus terjadi pada semua sektor dan semua wilayah secara simultan sehingga infrastruktur wilayah bisa bekembang.
2.         Mendorong pemerataan permintaan (demand).
Setiap industri dan wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga bisa manciptakan demand untuk tiap – tiap produk.
3.         Mendorong pemerataan tabungan.
Tabungan sangat diperlukan untuk bisa memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah meningkat, maka potensi investasi juga akan meningkat.
Disparitas anatarwilayah dapat ditanggulangi dengan beberapa tahapan reformasi ekonomi yang memperhatikan dimensi spasial (Anwar dan Rustiadi, 1999), yaitu :
Tahap Pertama
1.         Redistribusi aset (tanah, kapital, finansial, dan lain – lain).
2.         Pengembangan lembaga dan pasar finansial di wilayah pedesaan.
3.         Kebijaksanaan insentif lapangan kerja yang membatasi migrasi penduduk dari desa ke kota.
4.         Kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar (exchange – rate policy) yang mendorong ekspor pertanian menjadi selalu kompetitif.
5.         Pengendalin sebagian (partial controlled) melalui kebijaksanaan perpajakan dan monitoring kepada lalu – lintas devisa dan modal.
Tahap kedua
1.         Pembangunan regional bebasis pada pemanfaatan sumberdaya wilayah / kawasan berdasarkan keunggulan komparatif masing – masing wilayah.
2.         Kebijaksanaan (insentif fiskal) mendorong produksi dan distribusi lokasi kegiatan ekonomi ke arah wilayah perdesaan.
3.         Investasi dalam human capital dan social capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih kuat dengan membangun trust fund di daerah – daerah untuk dapat membiayai pembangunan dua kapital di atas.
4.         Industrialisasi berbasis di wilayah perdesaan / pertanian (melalui pembangunan sistem mikropolitan atau agropolitan), seperti :
-            Industri pengolahan makanan dan pakaian.
-            Industri pengolahan pertanian lain.
-            Industri peralatan dan input – input pertanian, serta barang konsumsi lain.
Secara berangsur hal ini akan mengurangi disparitas antarwilayah / kawasan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara lebih menyeluruh.


   
BAB III
PENUTUP
A.      Simpulan
Dari penjelasan yang telah dikemukakan di atas, sangat jelas bahwa ketidakberimbangan pembangunan spasial memerlukan perhatian yang serius serta menyangkut dimensi pembangunan yang lebih luas. Pengalaman – pengalaman kebijakan pembangunan regional baik dalam bentuk yang eksplisit maupun implisit, dapat dirangkum sebagai berikut :
Pertama, di negara – negara maju, disparitas spasial dari proses pembangunan telah terjadi namun tidak begitu mengkhawatirkan karena gap antara standar hidup di daerah perdesaan dan perkotaan di negara – negara ini tidak terlalu lebar.
Kedua, penyebaran aktivitas industri di daerah pedalaman negara maju terjadi justru setelah kecenderungan polarisasi melemah. Bentuk penyebaran biasanya dalam bentuk absis (axial) atau bentuk koridor (corridor).
Ketiga, di negara – negara yang sedang berkembang, disparitas pembangunan regional terjadi cukup nyata. Gap pendapatan dan mutu hidup di wilayah maju dan wilayah terbelakang cukup lebar. Kemiskinan, pengangguran dan mutu hidup yang rendah di wilayah terbelakang cukup tinngi. Tekanan penduduk yang tinggi dan ketidaksempurnaan pasar merupakan sebagian alasan disparitas pembangunan regional yang terus – menerus.
  Pengalaman pembangunan di Indonesia dan India menunjukkan bahwa pendapatan per kapita, urbanisasi dan pertumbuhan sektor manufaktur saling berhubungan dengan erat. Provinsi / Kabupaten dan negara – negara bagian yang mempunyai pendapatan per kapita yang tinggi mempunyai tingkat urbanisasi yang tinggi dan juga proporsi sektor manufaktur yang tinggi. Di samping itu, dampak pertumbuhan sektoral lebih menonjol daripada dampak intervensi kebijakan, seperti ditunjukkan oleh pertumbuhan sektor – sektor yang berbeda di tingakat daerah atau negara bagian dan dampaknya pada proses pembangunan regional.
Lebih jauh lagi ekspansi yang nyata dan pertumbuhan lokasi – lokasi industri terjadi di sekitar kota – kota metroplolitan dan kota – kota besar dan sepanjang beberapa rute transportasi nasional yang menghubungkan kota – kota besar.
a.         Disparitas pembangunan ada hampir di semua negara tanpa memandang status pembangunan mereka. Berbagai pengalaman intervensi di berbagai negara merupakan pengalaman yang cukup baik untuk dipelajari. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan yang hati – hati ketika melakuakan berbagai bentuk intervensi, karena dampak – dampaknya mungkin memakan waktu yang lama.
b.         Ketergantungan yang berlebihan pada industrialisasi untuk mengurangi disparitas spasial pembangunan merupakan strategi yang tidak efisien. Seperti tampak dari pengalaman pembangunan, dari berbagai insentif yang ada, ternyata industri – industri yang dapat berkembang secara efektif terutama hanya pada daerah – daerah yang berdekatan dengan metropolitan, sepanjang koridor transportasi, sedangkan wilayah – wilayah terbelakang justru semakin jauh tertinggal.
c.         Untuk wilayah – wilayah terbelakang yang lain, strategi pembangunan sebaiknya didasarkan pada keunggulan kompetitif sektoral mereka (sektor basis). Keunggulan sektoral semacam itu seharusnya diidentifikasi terlebih dahulu dan kemudian menjadi subjek ukuran promosi. Hal ini akan mengurangi ketergantungan yang berlebihan pada industrialisasi sebagai ukuran pembangunan berimbang antarwilayah.
B.       Saran
Optimalisasi pemanfaatan potensi yang ada, pengefektifan dan mengembangkan upaya penarikan infestasi, peningkatan produktifitas kegiatan ekonomi wilayah, agar kegiatan perekonomian yang berkembang mampu memberikan manfaat yang lebih bagi pengembangan wilayah.









DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A. Dan E. Rustiadi 1999. Desntralisasi spasial melalui pembangunan agrropolitan dengan mereplikasi kota – kota menengah – kecil di wilayah perdesaan. Makalah pada lokakarya Pendayagunaan Sumberdaya Pembangunan Wilayah Provinsi Riau. Pekanbaru 7 – 8 Oktober.

Rustiadi, E. Dan S. Hadi 2005. Kawasan Agropolitan : Konsep Pembangunan Desa – Kota Berimbang. Cresspent Press. 

2 komentar:

  1. Pengalaman pembangunan di Indonesia dan India menunjukkan bahwa pendapatan per kapita, urbanisasi dan pertumbuhan sektor manufaktur saling berhubungan dengan erat. Provinsi / Kabupaten dan negara – negara bagian yang mempunyai pendapatan per kapita yang tinggi mempunyai tingkat urbanisasi yang tinggi dan juga proporsi sektor manufaktur yang tinggi. Di samping itu, dampak pertumbuhan sektoral lebih menonjol daripada dampak intervensi kebijakan, seperti ditunjukkan oleh pertumbuhan sektor – sektor yang berbeda di tingakat daerah atau negara bagian dan dampaknya pada proses pembangunan regional. By : Ilmu Pengetahuan Geografi

    BalasHapus