PEMBANGUNAN ANTARWILAYAH
SECARA BERIMBANG
MAKALAH
Diajukan
untuk Memenuhi Salah Satu Tugas
Kelompok
Mata
Kuliah Perencanaan Wilayah
gambar sekolah/instansi
Disusun
oleh :
Kelompok
II (Kelas C)
Winda
Putri Ruchiana 082170106
Ripa
Nurdini 082170107
Teti
Novianti 082170083
Napiin
Nurohman 082170105
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN GEOGRAFI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SILIWANGI
TASIKMALAYA
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis
panjatkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan
makalah ini, tak lupa shalawat serta salam semoga tetap tercurah kepada Nabi
Muhammad SAW, kepada keluarganya, kepada sahabatnya dan kita sebagai umatnya
yang setia hingga akhir zaman.
Dalam penulisan makalah yang
berjudul “pembangunan antarwilayah
secara berimbang”, penulis menyadari keterbatasan kemampuan dan pengetahuan
sehingga penyusunan makalah ini masih jauh dari memadai dan dari kesempurnaan.
Oleh karena itu, penulis mengharapkan saran dan kritik yang bersifat membangun
sebagai bekal tambahan dimasa yang akan datang. Selain itu juga dalam penulisan
makalah ini terdapat hambatan – hambatan yang penulis temui, namun berkat
bantuan dari berbagai pihak semua hambatan dapat penulis atasi.
Demikianlah penulis sampaikan
dengan segala kerendahan hati, dan penulis mempunyai harapan semoga makalah ini
bisa di terima, dan dapat bermanfaat khususnya bagi penulis umumnya bagi para
pembaca yang budiman.
Tasikmalaya, Mei 2011
Penulis
DAFTAR
ISI
Kata
Pengantar.............................................................................................. i
Daftar
Isi......................................................................................................... ii
BAB I
Pendahuluan
A. Latar
Belakang........................................................................... 1
B. Rumusan
Masalah...................................................................... 2
C. Tujuan
Makalah......................................................................... 3
D. Sistematika
Penulisan................................................................ 3
BAB
II Pembahasan
A. Urgensi
Pembangunan Antarwilayah Secara Berimbang.......... 6
B. Kasus
Negara – Negara Sedang Berkembang........................... 11
C. Pembangunan
Berimbang Sebagai Isu Global.......................... 15
D. Faktor
– Faktor Penyebab Terjadinya Disparitas
Antarwilayah
Yang Harus Diatasi Dengan Membangun
Keterkaitan............................................................................... 22
E. Upaya
Untuk Membangun Keterkaitan Dan Mengatasi Masalah Disparitas Antarwilayah............................................................ 25
BAB
III Penutup
A. Simpulan.................................................................................... 27
B. Saran.......................................................................................... 29
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Salah
satu ciri penting pembangunan wilayah adalah upaya mencapai pembangunan
berimbang (balanced development). Isu pembangunan wilayah atau daerah
berimbang tidak mengharuskan adanya kesamaan tingkat pembangunan antar daearah
(equally developed), juga tidak menuntut pencapaian tingkat
industrilisasi wilayah / daerah yang seragam, juga bentuk – bentuk keseragaman
pola dan struktur ekonomi daerah, atau juga tingkat pemenuhan kebutuhan dasar (self
sufficiency) setiap wilayah / daerah.
Hakekatnya pembangunan yang berimbang ialah terpenuhinya potensi –
potensi pembangunan sesuai dengan kapasitas pembangunan setiap wilayah / daerah
yang jelas – jelas beragam (Bhinneka tunggal ika) yang disesuaikan dengan
potensi ekonomi daerah tersebut dalam berbagai aspek ekonomi seperti potensi
sentra kehutanan, pangan, palawija, perkebunan, pertambangan dan lain
sebagainya. Daya dukung lingkungan menjadi sangat penting ketika perencanaan
pembangunan wilayah yang berbasis pada potensi – potensi ekonomi yang dimiliki pada daerah yang jelas
beragam antar daerahnya. Pada dasarnya potensi tersebut saling berkaitan dengan
wilayah – wilyah sekitarnya, karena sumberdaya yang ada saling menutupi
kekurangan pada wilayah lainnya sehingga menjadi syarat penting bahwa kapasitas
pembangunan harus berimbang.
Salah
satu ciri penting yang perlu diperhatikan juga adalah masalah buruknya akses
masyarakat di sektor tradisional terhadap permodalan pada lembaga keuangan
modern serta kekuatan secara memonopoli para pemilik modal dalam pasar uang dan
tidak adanya barang jaminan untuk memperoleh pinjaman modal sebagai anjungan
dalam transaksi peminjaman modal. Sebagai implikasinya tingkat bunga yang
sangat tinggi sehingga semakin menekan produktivitas sektor ekonomi
tradisional, tingkat bunga tinggi berimplikasi terhadap periode produktivitas,
yang artinya cepat atau lambat ketika bisnis itu tidak sesuai dengan
perencanaan maka akan berdampak kolaps usaha tersebut karena pengeluaran yang
tetap tiap periodenya tidak sesuai dengan pendapatan pada setiap periodenya.
Sektor modern pada umumnya berada di aspek kewilayahan. Sektor modern pada
umumnya berada di perkotaan sedangkan sektor tradisional berada di pedesaan.
Ketimpangan tingkat produktivitas antara kota dan desa mengakibatkan
ketimpangan penanaman modal dan pembangunan secara signifikan antara
perkembangan wilayah kota yang cukup pesat dengan perkembangan wilayah pedesaan
yang lambat.
Berdasarkan
pernyataan di atas, penulis tertarik untuk membahas tentang pengembangan
wilayah. Pembahasan tersebut penulis wujudkan dalam makalah yang berjudul
“Pengembangan Wilayah Secara Berimbang”.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
hal yang dikemukakan dalam latar belakang maka dikemukakan rumusan masalah,
sebagai berikut :
1.
Bagaimana urgensi pembangunan
antarwilayah secara berimbang ?
2.
Faktor – faktor apa yang menyebabkan
terjadinya disparitas antarwilayah serta upaya apa yang dilakukan untuk
membangun keterkaitan dan mengatasi masalah disparitas antarwilayah ?
C.
Tujuan
Makalah
Adapun
tujuan dari makalah ini adalah, sebagai berkut :
1.
Untuk mengetahui urgensi pembangunan
antarwilayah secara berimbang, dan untuk mengetahui kasus negara – negara yang
sedang berkembang.
2.
Untuk mengetahui faktor – faktor
penyebab terjadinya disparitas antarwilayah yang harus diatasi dengan membangun
keterkaitan.
3.
Untuk mengetahui upaya untuk membangun
keterkaitan dan mengatasi masalah disparitas antarwilayah.
D.
Sistematika
Penulisan
Untuk mendukung terhadap penyusunan makalah
yang baik, maka makalah hendaknya disesuaikan dengan sistematika sebagai
berikut :
1.
Lembar judul, memuat : judul makalah, nama, NIM, nama tempat perguruan tinggi, tahun.
2.
Kata pengantar.
3.
Daftar isi.
4.
Batang tubuh makalah, terdiri dari :
a.
Pendahuluan
Pendahuluan berisi pengantar ke permasalahan pokok yang memberikan gambaran
tentang batasan dan tujuan penulisan. Pada bab ini dibagi dalam 3 sub bab,
sebagai berikut :
1) Latar belakang.
Memberikan penjelasan tentang manfaat /
pentingnya timbulnya judul / topik untuk dibahas.
2)
Rumusan masalah.
Memberikan penjelasan tentang ruang lingkup
permasalahan yang rnenjadi batasan pembahasan.
3) Tujuan makalah.
Memberikan penjelasan tentang maksud
penulisan makalah dan tujuan berisi tentang hal yang diinginkan pada penulisan
makalah, sesuai dengan konteks permasalahan yang akan dibahas.
4)
Sistematika
penulisan.
b.
Pembahasan
Pembahasan merupakan isi dari makalah,
berupa uraian yang relevan dengan ruang lingkup. Isi pembahasan meliputi :
1)
Uraian
yang membahas pemecahan masalah sesuai dengan isi topik.
2)
Dalam
menguraikan pembahasan ini dapat menggunakan bahan referensi yang resmi.
3)
Bila
mungkin dapat memuat faktor – faktor penentu (faktor pendukung dan faktor
penghambat).
4)
Pada
dasarnya uraian tersebut adalah untuk menjawab permasalahan dengan alternatif
pemecahan masalah.
c.
Penutup
Pada bab yang terakhir ini berisi tentang
kesimpulan dan saran yang pada dasarnya merupakan penegasan inti makalah yang
dirumuskan dengan jelas, singkat, dan tegas. Isi penutup meliputi :
1)
Kesimpulan
Berisi jawaban dan permasalahan dalam bentuk
resume atau ikhtisar dari permasalahan.
2)
Saran
Saran yang dimaksud di sini, merupakan usul
atau pendapat dari penulis yang mengacu pada materi pembahasan. Hendaknya
dikemukakan secara jelas dan kemungkinan dapat dilaksanakan.
5.
Daftar pustaka
Merupakan acuan dalam penulisan makalah baik
dari buku, surat kabar, internet, dan sumber tertulis lainnya.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Urgensi
Pembangunan Antarwilayah Secara Berimbang
Disparitas
regional merupakan fenomena universal. Di semua negara tanpa memandang ukuran
dan tingkat pembangunannya, disparitas pembangunan merupakan masalah
pembangunan antarwilayah yang tidak merata. Pada banyak negara, pembagian
ekonomi yang tidak merata telah melahirkan masalah – masalah sosial politik.
Hampir di semua negara, baik pada sistem perekonomian pasar maupun ekonomi
terencana secara terpusat, kebijakan – kebijakan pembangunan diarahkan untuk
mengurangi disparitas antarwilayah. Pendekatan pembangunan yang sangat
menekankan pada pertumbuhan ekonomi makro, cenderung mengabaikan terjadinya
kesenjangan – kesenjangan pembangunan antar wilayah yang cukup besar. Investasi
dan sumberdaya terserap dan terkonsentrasi di perkotaan dan pusat – pusat
pertumbuhan, sementara wilayah – wilayah hinterland
mengalami pengurasan sumberdaya yang berlebihan. Secara makro dapat kita
lihat terjadinya ketimpangan pembangunan yang signifikan, misalnya antara desa
– kota, antara wilayah Indonesia Timur dan Indonesia Barat, antara wilayah Jawa
dan luar Jawa, dan sebagainya.
Kesenjangan
ini pada akhirnya menimbulkan permasalahan yang dalam konteks makro sanagt
merugikan proses pembangunan yang ingin dicapai sebagai bangsa.
Ketidakseimbangan pembangunan antarwilayah / kawasan di satu sisi terjadi dalam
bentuk buruknya distribusi dan alokasi pemanfaatan sumberdaya yang menciptakan
inefisiensi dan tidak optimalnya sistem ekonomi. Ketidakseimbangan pembangunan
menghasilkan struktur hubungan antarwilayah yang memebentuk suatu interaksi
yang saling memperlemah. Wilayah / kawasan hinterland
menjadi lemah karena pengurasan sumberdaya yang berlebihan (backwash), yang mengakibatkan aliran
bersih dan akumulasi nilai tambah tertuju akumulasi nilai tambah di kawasan –
kawasan pusat pertumbuhan.
Ketidakseimbangan
pembangunan inter – regional, disamping menyebabkan kapasitas pembangunan
regional yang sub – optimal, pada gilirannya juga menihilkan potensi – potensi
pertumbuhan pembangunan agrerat (makro) dari adanya interaksi pembangunan inter
– regional yang sinergis (saling memeperkuat). Menyadari terjadinya
ketidaksimbangan pembangunan inter – regional, Pemerintah Indonesia telah
menyelenggararkan berbagai program pengembangan wilayah / kawasan. Pada
awalnya, strategi program – program pengembangan kawasan lebih didasarkan atas
strategi dari sisi pasokan (supply – side
strategy), yakni berupa program – program pengembangan kawasan yang
didasarkan atas keunggulan – keunggulan kompararatif (comparative advantages) berupa upaya – upaya peningkatan produksi
dan produktivitas kawasan yang didasarkan atas pertimbangan optimalisasi daya
dukung (carrying capacity), kapabilitas
(capability) dan kesesuaian (suitability) sumberdaya wilayah.
Selain
sisi pasokan dan permintaan, strategi pembangunan kawasan harus didasarkan atas
prinsip strategi sinergi keterkaitan (linkages)
antarkawasan. Strategi berbasis keterkaitan antarkawasan pada awalnya dapat
diwujudkan dengan mengembangkan keterkaitan fisik antarkawasan melalui
pembangunan berbagai infrastruktur fisik (jaringan transportasi jalan,
pelabuhan, jaringan komunikasi, dan lain – lain) yang dapat menciptakan keterkaitan
fisik antarkawasan. Keterkaitan fisik harus disertai kebijakan – kebijakan yang
menciptakan struktur insentif yang mendorong keterkaitan yang sinergis
antarkawasan. Pengembangan keterkaitan yang salah (tidak tepat sasaran) dapat
mendorong aliran backwash yang lebih masif,
yang pada akhirnya justru memperparah kesenjangan dan ketidakseimbangan
pembangunan inter – regional. Oleh karena itu, keterkaitan inter – regional
yang diharapkan adalah bentuk – bentuk keterkaitan yang sinergis (generatif)
atau saling memperkuat, bukan saling memperlemah atau eksploitatif.
Pemberlakuan
kebijakan Otonomi Daerah sejak tahun 2000 (penerapan UU 22 / 1999), yang
direvisi dengan UU 32 / 2004, dipandang sebagai bagian dari upaya mengatasi
ketimpangan dan ketidakadilan pembangunan antarwilayah (inter – regional), termasuk
ketidakseimbangan kewenangan antar pusat dan daerah. Dalam kerangka wilayah
sebagai suatu sistem yang tersusun atas komponen – komponen yang memiliki
lembaga – lembaga fungsional, program – program pengembangan kawasan pada
umumnya dilaksanakan dalam kaidah fungsi suatu unit kawasan berdasarkan
karakteristik sumberdaya alam (natural
resources), sumberdaya manusia (human
capital), sumberdaya buatan (man –
made capital), dan sumberdaya sosial yang dimilikinya. Beberapa program ini
di antaranya berupa program – program yang dikembangkan oleh instansi lintas
sektoral (terutama Bappenas, Depdagri dan BPPT), yakni antara lain Kawasan Pengembangan
Ekonomi Terpadu (KAPET), Kawasan Andalan (KADAL), Poperty Alleviation trough Rural – Urban Linkages Program (PARUL),
Kawasan Sentra Produksi (KSP), dan Program Pengembangan Kawasan Tertinggal
(KATING). Semua program ini diharapkan dapat mengurangi kesenjangan dan
disparitas antarwilayah. Namun sayangnya, kecuali PARUL dan Agropolitan,
program – program ini seacra umum masih di dominasi oleh pemikiran teori pusat
– pusat pertumbuhan (growth pole) yang
lebih menekankan pada pentingnya pengembangan pusat – pusat pertumbuhan baru
untuk membangun suatu wilayah, disamping dominannya strategi – strategi
pembangunan dari sisi pasokan (supply).
Teori
growth pole sebenarnya kurang populer
di kalangan ahli – ahli pengembangan wilayah karena kekurangefektifannya ketika
diterapkan. Namun pada saat ini teori inilah yang paling populer di kalangan
birokrat dan sering dilaksanakan dalam proses pembangunan karena pelaksanaannya
lebih mudah dan hasilnya lebih cepat terlihat. Wilayah – wilayah yang menjadi
pusat, akan berkembang dengan cepat dan signifikan. Namun sebenarnya kondisi
ini seringkali tidak menjamin sustainability
karena akan timbul disparitas baru dan interaksi yang terbentuk antara
pusat dan hinterland pada akhirnya
akan kembali saling memperlemah. Teori growth pole salah satu alat utama yang dapat melakukan penggabungan antara
prinsip – prinsip kosentrasi dengan desentralisasi. Teori yang menjadi dasar
strategi kebijakasanaan pembangunan wilayah melalui industri daerah. Pembangunan
atau pertumbuhan tidak terjadi disegala tata ruang. Akan tetapi terjadi hanya
terbatas pada beberapa tempat tertentu dengan variabel – variabel yang berbeda
intensintasnya. Salah satu cara untuk menggalakan kegiatan pembangunan suatu
daerah tertentu melalui pemanfaatan aglomeration
economies sebagai faktor pendorong
utama.
Teori
growth pole, secara fungsional adalah suatu lokasi kosentrasi kelompok
usaha atau cabang industri yang sifat hubungannya memiliki unsur – unsur
kedinamisan sehingga mampu mestimulasi kehidupan ekonomi baik kedalam maupun keluar
(daerah belakangnya). Secara geografis, suatu lokasi yang banyak memiliki
fasilitas dan kemudahan sehingga menjadi pusat daya tarik (pole of attraction) yang menyebabkan berbagai mcama usaha tertarik
untuk berlokasi didaerah yang bersangkutan dan masyarakat senang datang
memanfaatkan fasilitas yang ada.
Salah
satu kelemahan utama dalam konsep – konsep program pengembangan kawasan yang
ada selama ini adalah ketidakjelasan batasan dari kawasan – kawasan yang
dimaksudkan, sehingga menyulitkan sistem monitoring,
evaluasi dan pengendalian program itu sendiri. Dengan demikian berbagai
fenomena tidak tercapainya sasaran – sasaran program serta terjadinya tumpang
tindih antar program banyak dijumpai di lapangan. Menurut Murty (2000),
pembangunan regional yang berimbang merupakan sebuah pertumbuhan yang merata dari
wilayah yang berbeda untuk meningkatkan pengembangan kapabilitas dan kebutuhan
mereka. Akan tetapi yang lebih penting adalah adanya pertumbuhan yang seoptimal
mungkin dari potensi yang dimiliki oleh suatu wilayah sesuai dengan
kepastiannya. Dengan demikian, diharapkan manfaat dari pertumbuhan ekonomi
secara keseluruhan merupakan hasil dari sumbangan interaksi yang saling
memperkuat di antara semua wilayah yang terlibat.
B.
Kasus
Negara – Negara Sedang Berkembang
Disparitas
pembangunan regional cukup semarak di negara – negara berkembang. Dispariatas
yang diobservasi di negara – negara ini dapat dipaparkan pada bagian berikut :
1.
Disparitas pendapatan dan infrastruktur
sosial regional.
Hasil
observasi menunjukan bahwa secara umum disparitas regional di negara – negara
yang kurang maju jauh lebih lebar daripada yang terjadi di negara – negara maju
(Williamson, 1965). Di negara – negara berkembang, lokasi dan daerah tertentu
yang diinginkan telah menarik investasi, angkatan kerja dan para pengusaha
secara terus – menerus. Proses polarisasi tidak dapat menunjukkan suatu tanda
pembalikan (UNCRD, 1976; Unikel, 1976; Gugler and Flanagan, 1978). Polarisasi
aktivitas dan perkampungan berkesinambungan ini dinyatakan pada dua fakta ; pertama, faktor distribusi infrastruktur
sosial ekonomi warisan lama dan kedua, kebijakan
sektoral temporer.
Infrastruktur
sosial ekonomi yang diwarisi sebagian besar negara – negara berkembang, secara
spasial menceng dan dirancang untuk tunduk kepada kepentingan eko-politik
kolonial. Akhirnya, selama awal periode pascaperang, hal yang sama mempunyai
peran penting di dalam membentuk perkembangan aktivitas industri dan pola –
pola perkampungan (Morse, 1975; Cross, 1979).
Kebijakan
– kebijakan yang memandang ke dalam, yang diikuti oleh negara – negara
berkembang ini menonjolkan polarisasi di lokasi –lokasi yang menjadi tempat
yang disenangi. Gabungan produk dan tekhnologi di negara – negara ini mengalami
transformasi yang cepat dan memberikan kenaikan terhadap aktivitas industri
yang lebih menguntungkan untuk dijalankan di atau sekitar pusat metropolitan.
Kecenderungan pertumbuhan semacam itu menghasilkan pembentukan kompleks –
kompleks perkotaan yang terkonsentrasi dengan fasilitas infrastruktur sosial
ekonomi yang lebih baik dalam hubungannya dengan wilayah – wilayah lain.
Hasil
observasi juga menunjukkan tidak adanya tendensi menuju kesamaan atau
keberimbangan spasial yang lebih baik di kebanyakan negara – negara yang sedang
berkembang. Hal penting yang perlu dipahami adalah tingkat pendapatan per
kapita dari negara – negara yang berbeda telah ditemukan tidak ada hubungannya
dengan tingkat disparitas. Ketidakseimbangan spasial pembangunan lebih
merupakan fungsi dari organisasi ekonomi.
2.
Hubungan disparitas desa – kota dengan
standar hidup.
Ada
perbedaan besar yang nyata antara standar hidup penduduk perkotaan dan
perdesaan di negara – negara berkembang, dengan beberapa pengecualian untuk
beberapa negara sosialis dimana terdapat usaha yang sengaja dibuat untuk
mengurangi disparitas tersebut. Daerah – daerah perdesaan di negara – negara
yang sedang berkembang dengan proporsi penduduk miskinnya yang tinggi, tingkat
ketersediaan pelayanan jasa – jasa sosial rendah / terbatas, ketersediaan infrastruktur
sosial ekonomi sangat terbatas dan ketersediaan lapangan kerja dengan tingkat
upah yang baik terbatas, berkolerasi dengan keadaan perbedaan pendapatan per
kapita desa – kota yang sangat tinggi.
Di
Indonesia, gejala serupa terlihat pada beberapa kasus sebagaimana ditunjukkan
oleh studi Martina (2005) dan Adifa (2007). Di hampir semua negara berkembang,
pada kawasan perdesaan tingkat kesehatan, sanitasi perumahan dan penyediaan air
minum berada pada tingakat yang sangat rendah (UNECLA, 1971; Gish, 1972;
Sharpston, 1972; Gilbert, 1974; Friedmann and Douglas, 1976).
3.
Peranan kota.
Perbedaan
pandangan mengenai peranan sistem perkotaan di dalam proses pembangunan
nampaknya masih terus berlangsung. Masalah ini tidak hanya terbatas pada negara
– negara berkembang, melainkan juga ditemukan di negra – negara yang mempunyai
derajat industrialisasi yang relatif tinggi. Keunggulan perkotaan secara umum
dapat juga ditemukan pada negara – negara yang kecil, sangat terpusat, dan yang
termasuk kelompok
pendapatan menengah (Berry, 1961; Mehta, 1964; Mills, 1986).
Meskipun
ada perbedaan pendapat dalam memandang hubungan antara keunggulan kota dan
tingkat pembangunan, setidaknya dipahami bahwa perkotaan telah mempengaruhi
distribusi fungsional pusat – pusat perkampungan dan pusat – pusat aktivitas. Secara
fungsional, dampak pertumbuhan sistem perkotaan nampaknya tidak banyak membantu
perkembangan pembangunan regional berimbang.
4.
Kecenderungan migrasi.
Di
negara – negara berkembang, interaksi faktor – faktor seperti tingginya tekanan
penduduk terhadap ketersediaan lahan yang dapat diolah, rendahnya kesempatan
kerja dengan tingkat upah gaji yang baik, serta harapan untuk bekerja dan
mendapatkan kehidupan yang lebih baik, secara konstan terus mendorong
kecenderungan migrasi desa kota. Implikasi dari migrasi desa kota yang
berkelanjutan, telah menumbuhkan perkampungan – perkampungan kumuh di perkotaan
negara – negara yang sedang berkembang. Selanjutnya keterbatasan infrastruktur
di perkotaan telah memicu masalah – masalah sosial dan politik di berbagai
tempat. Kondisi ini telah mendorong pemerintah di berbagai negara melakukan
pengendalian langsung atas mobilitas penduduk seperti Cina, ataupun secara
tidak langsung melalui perbaikan standar dasar perekonomian di daerah perdesaan
seperti Malaysia, Brazil, dan India.
Kebijakan
pengendalian langsung yang dilakukan oleh pemerintah Cina telah berhasil secara
administratif, namun secara individual masyarakat harus membayar harga yang
mahal bagi perekonomian yang diderita dari ketidaktepatan buruh. Pendekatan
pengendalian secara tidak langsung melalui pembangunan daerah perdesaan seperti
dalam kasus Indonesia, Brazil, dan Malaysia, ditemukan dengan sedikit
keberhasilan, namun terbukti memakan anggaran publik yang sangat besar.
Pendekatan
lain untuk mengurangi tekanan pada kota – kota besar adalah dengan pengembangan
kota – kota kecil dan menengah serta mendorong pertumbuhan kota – kota baru di
daerah – daerah yang tertinggal melalui berbagai bentuk struktur insentif.
Pendekatan ini telah dilakuakan di negara – negara seperti Peru, India,
Thailand, Korea Selatan, dan lain – lain, namun tidak memperlihatkan banyak
keberhasilan kecuali di Korea Selatan.
Migrasi
desa kota secara luas merupakan hasil dari ketidakberimbangan pembangunan, dan
secara spasial umumnya tidak dapat dipecahkan dengan memuaskan, baik dengan
pendekatan langsung maupun tidak langsung. Dalam berbagai kasus, biaya dan
kerugian yang ditimbulkan oleh masalah – masalah terkait dengan migrasi desa
kota terlihat dari besarnya anggaran pengeluaran publik atau berbagai bentuk
masalah (termasuk kejahatan) sosial cukup tinggi dibandingkan dengan
keuntungannya.
C.
Pembangunan
Berimbang Sebagai Isu Global
Ide
pembangunan berimbang berawal dari ide Stalin yang menginginkan berkembangnya
setiap negara yang berada di bawah kesatuan Soviet Rusia, agar memiliki
ketahanan yang cukup dalam menghadapi serangan dari negara – negara musuh. Namun
sebenarnya masalah kesenjangan pembangunan antarwilayah / daerah lebih relevan
dan lebih kuat terjadi di negara – negara yang sedang berkembang. Salah satu
dari trend kebijakan yang kuat pada
negara – negara ekonomi pasar yang maju dan negara – negara dengan sistem
ekonomi yang terencana secara terpusat, telah mengalami redistribusi spasial
pemukiman dan aktivitas – aktivitas. Trend
ini dapat dicirikan secara umum oleh dua penekanan utama, yaitu menahan
pertumbuhan berlebihan kota – kota besar (di antaranya menekankan urbanisasi
berlebih) dan pembangunan wilayah – wilayah yang tertinggal atau miskin.
Pada
negara – negara yang menganut sistem ekonomi pasar yang maju, kebijakan –
kebijakan tersebut ditujukan untuk membatasi pertumbuhan kota – kota yang
sangat besar dan pengendalian letak kota, telah diintensifkan terutama untuk pertumbuhan
lokasi – lokasi yang diinginkan secara langsung untuk aktivitas ekonomi
desentralisasi di dalam ruang ekonomi. Negara – negara ini telah menggunakan
berbagai ukuran termasuk pelanggaran hukum dan disinsentif finansial untuk
investasi modal di kota – kota besar seperti kasus di Denmark, Jerman dan
Inggris, serta dukungan finansial dan insentif yang lain yang ditujukan pada
promosi pembangunan daerah – daerah yang kurang maju dan pusat – pusat yang
diinginkan. Beberapa negara yaitu Perancis dan Belanda telah mengadopsi
strategi – strategi untuk mendapatkan distribusi spasial yang optimal dari
permukiman dan aktivitas. Negara – negara maju sengaja membentuk strategi –
strategi untuk memulai pembangunan wilayah – wilayah tertinggal.
Inggris
telah menerapkan instrumen seperti subsidi, kelonggaran pajak, dan sistem
pengendalian kesempatan kerja untuk diarahkan menuju wilayah – wilayah yang
tertahan potensinya. Italia telah
menggunakan pendekatan komprehensif untuk pembangunan Mezzogiorno, di mana
dengan insentif memicu pertumbuhan ekonomi yang didahului dan di dorong oleh
perindustrian dan penyediaan infrastruktur sosial maupun fisik dan
diversifikasi ekonomi. Finlandia telah
menekankan kebijakan untuk mendorong pembangunan wilayah utaranya yang
mengalami penderitaan dari eksodus perdesaan ke daerah perkotaaan di bagian
selatan selama tahun 1960-an. Dengan memberikan subsidi pada berbagai wilayah
di utara, Finlandia telah berusaha untuk membangun wilayh tersebut secara
ekonomis dan membuat kondisi untuk pembangunan demografis nasional yang
berimbang. Kanada telah membangun
kota – kota kelas menengah di dalam kerangka kerja strategi pembangunan
regional khususnya di daerah bagian timur negara itu. Belgia, Denmark, Irlandia, dan
Belanda telah menyediakan penyokong pembangunan regional dengan cara
desentralisasi administratif, memberi lebih banyak otoritas kepada pemerintahan
lokal, dan membuat otoritas regional terpisah.
Negara
– negara yang dikembangkan dengan sistem perekonomian terencana secara
terpusat, umumnya berkembang dengan strategi empat tahap di dalam sistem
pembangunan serta sistem distribusi aktivitas dan permukimannya.
1.
Konsentrasi investasi untuk
industrialisasi yang cepat di pusat – pusat dimana infrastruktur pendukung yang
diperlukan sudah tersedia atau dapat dibuat secara cepat terutama di kota –
kota besar.
2.
Pertumbuhan yang terencana dan
mengembangkan pusat – pusat baru yang permanen.
3.
Mengendalikan pertumbuhan pusat – pusat
yang mengalami perluasan, pengembangan pertumbuhan pusat – pusat yang kecil dan
pembentukan pusat – pusat baru, khususnya wilayah – wilayah yang kurang maju.
4.
Pertumbuhan pusat – pusat perdesaan yang
didasarkan pada pembangunan industri pengolahan hasil pertanian.
Dari
uraian keempat tersebut dapat diketahui bahwa negara – negara dengan
perencanaan terpusat telah berusaha untuk membangun hierarki permukiman penduduk
dengan sistem produksi. Struktur ini dirancang untuk memungkinkan pertumbuhan
pusat – pusat perkotaan yang terkontrol melalui kebijakan – kebijakan yang
dengan sengaja mempromosikan investasi pada pusat – pusat yang diharapkan untuk
pertumbuhan dan pembatasan investasi di wilayah lain.
Para
pembuat keputusan di negara – negara maju pun telah berusaha mengurangi
ketidakseimbangan dan keberimbangan pembangunan spasial. Studi – studi empiris
menunjukkan bahwa di negara – negara dengan sistem ekonomi pasar yang maju,
proses konsentrasi spasial selama fase industrialisasi yang cepat, akhirnya
telah mentransformasi kematangannya dengan proses dipersi baik di dalam wilayah
maupun antarwilayah selama fase kematangan post – industri (Williamson, 1965;
Kuznets, 1966; El Shakhs, 1972). Akan tetapi, hal ini tidak berarti bahwa
maslah ketidakseimbangan dan pembangunan regional telah sepenuhnya dihapuskan
dari negara – negara maju. Hanya permasalahannya kurang mencolok dibandingkan
negara – negara yang sedang berkembang (Richardson, 1973).
Negara
– negara dengan
ekonomi yang terpusat dapat memperkuat perdesaan melalui perencanaan aktivitas
spasial secara cukup efektif. Sedangkan pengalaman ekonomi pasar negara –
negara maju menunjukkan penggabungan pendekatan polarisasi perkotaan dan
industri pada dan sekitar lokasi – lokasi tertentu yang diinginkan, dapat
mempromosikan pembangunan yang lebih berimbang. Di sejumlah daerah
metropolitan, terjadi pengurangan penduduk dan desentralisasi aktivitas
ekonomi. Hal ini menunjukan telah terjadinya pergeseran trend pertumbuhan dari kota – kota besar ke kota – kota yang jumlah
penduduknya kecil (Drewett and Ross, 1981).
Trend perubahan
aktivitas yang jauh dari kota – kota metropolitan yang besar telah diobservasi
di sebagian besar negara – negara maju. Di negara – negara ini, kesempatan
kerja di bidang manufaktur di kota – kota metropolitan telah mengalami
penurunan secara cepat. Perubahan struktur di sektor manufaktur telah membuat
kota – kota kecil menjadi lokasi yang lebih menarik untuk investasi. Kebijakan
pemerintah dalam penyediaan insentif dan disinsentif untuk menahan pertumbuhan
ukuran kota – kota metropolitan dan pembangunan wilayah – wilayah yang
mengalami perlambatan, telah mendukung proses penyebaran.
Di
negara – negara maju, infrastruktur sosial ekonomi disebar di seluruh bagian di
negara tersebut. Hal ini merupakan hasil dari awal industrialisasi merdeka.
Jaringan infrastruktur yang disebarkan secara besar – besaran ini telah
membantu menyebarkan permukiman dan aktivitas di wilayah tersebut. Akan tetapi,
pertumbuhan lokasi industri yang tampak di dalam negara ini, telah semakin
terkonsentrasi ke daerah – daerah di dekat kota dan yang berada di antara kota
– kota besar sepanjang koridor pengangkutan.
Keberimbangan
kawasan menjadi penting karena keterkaitan yang bersifat simetris akan mampu
mengurangi disparitas antarwilayah, dan pada akhirnya mampu memperkuat pembangunan
ekonomi wilayah secara menyeluruh. Dalam perspektif paradigma keterkaitan
antarwilayah, kemiskinan di suatu tempat akan sangat berbahaya bagi wilayah
lainnya, oleh karenanya kesejahteraan di suatu tempat harus didistribusikan
secara berkeadilan ke seluruh wilayah.
Setiap
pemerintah, baik di negara yang sedang berkembang maupun belum berkembang
selalu berusaha untuk meningkatakan keterkaiatan yang simetris antarwilayah dan
mengurangi disparitas karena beberapa alasan (Murty, 2000), antara lain :
1.
Untuk mengembangkan perekonomian secara
simultan dan bertahap.
Jika setiap wilayah
atau kawasan bisa tumbuh dan berkembang, maka mereka akan membentuk hubungan
mutualisme yang saling menguntungkan.
2.
Untuk pertumbuhan ekonomi yang lebih
cepat.
Apabial kemajuan ekonomi
negara ditopang oleh pertumbuhan semua wilayah atau kawasan secara simultan
sesuai dengan potensinya masing – masing, maka pertumbuhan ekonomi akan
berjalan dengan lebih cepat.
3.
Untuk mengoptimalkan pengembangan
kapasitas dan mengkonservasi sumberdaya.
Ketika suatu wilayah
memanfaatkan sumberdayanya secara lebih optimal, maka sumberdaya tersebut akan
mengakibatkan wilayah atau kawasan tersebut menjadi berkembang.
4.
Untuk meningkatakan lapangan kerja.
Berkembangnya
infrastruktur dan penyebaran industri di daerah hinterland (backward region) akan meningkatkan lapangan kerja yang
lebih luas di semua wilayah atau kawasan.
5.
Untuk mengurangi beban sektor pertanian.
Produktivitas per
kapita sektor pertanian di Indonesia sangat rendah karena terlalu banyak penduduk
yang bekerja di sektor ini. Dengan pembangunan wilayah atau kawasan yang
berimbang, sektor – sektor non pertanian yang relevan juga akan berkembang di
daerah hinterland, dan mampu menyerap
limpahan tenaga kerja di sektor pertanian.
6.
Untuk mendorong desentralisasi.
Disparitas antarwilayah
akan mendorong terjadinya sentralisasi. Wilayah berkembang mempunyai kapasitas
untuk menarik investasi, industri, dan institusi – institusi perekonomian baru,
sedangkan wilayah – wilayah yang tertinggal tidak mempunyai kapasitas tersebut.
7.
Untuk menghindari konflik lepas kendali
dan instabilitas politik disintegratif.
Suatu wilayah akan
cenderung melepaskan diri apabila terlalu kaya dan tidak memiliki kesadaran
riil yang memadai bahwa kekayaan tersebut terbangun dari satu kesatuan sistem
keseluruhan. Sebaliknya suatu wilayah juga akan cenderung melepaskan diri
apabila terlalu miskin dan merasa tidak mendapat manfaat ekonomi yang
signifikan dari struktur keterkaitan yang ada.
8.
Untuk meningkatkan ketahanan nasional.
Apabila semua wilayah
mampu tumbuh dan berkembang yang berbasis pada struktur keterkaitan
antarwilayah yang kokoh dan saling memperkuat, maka serangan dan iming – iming
musuh pada wilayah – wilayah tertentu tidak akan mampu memecah belah serta
melumpuhkan perekonomian dan kesatuan bangsa.
D.
Faktor – Faktor
Penyebab Terjadinya Disparitas Antar wilayah Yang
Harus Diatasi Dengan Membangun Keterkaitan
Terdapat
beberapa faktor utama yang menyebabkan terjadinya disparitas antarwilyah. Faktor
– faktor ini terkait dengan variabel – variabel fisik dan sosial ekonomi
wilayah. Faktor – faktor utama ini antara lain, adalah : geografi, sejarah,
politik, kebijakan pemerintah, administrasi, sosial budaya dan ekonomi. Tingkat
perkembangan dari suatu masyarakat dalam suatu wilayah sangat tergantung pada
apa yang telah dilakukan pada masa lalu. Bentuk organisasi dan kehidupan
perekonomian pada masa lalu merupakan penyebab yang cukup penting, terutama
yang terkait dengan sistem insentif terhadap kapasitas kerja dan enterpreneurship. Sebagai contoh, sistem
feodalistik atau sistem kolonial cenderung tidak memberikan iklim yang dapat
memacu prestasi dan kerja keras.
Sedangkan
pada sistem industri kapitalistik, dimana para pekerja merasa dieksploitasi dan
dibatasi dengan peraturan dan sistem yang ketat dapat menyebabkan kurangnya
inisiatif dan kreativitas terutama untuk menumbuhkan usaha – usaha kecil dan
menengah. Sebuah sistem yang memberikan kebebasan untuk bekerja dan berusaha
akan mampu berkembang dengan lebih cepat. Disparitas antarwilayah juga bisa
diakibatkan oleh kebijakan pemerintah. Salah satu contoh nyata adalah kebijakan
pembangunan di beberapa wilayah di Indonesia dan beberapa negara lainnya yang
lebih menekankan pertumbuhan dengan membangun pusat – pusat pertumbuhan telah
menimbulkan kesenjangan antarwilayah yang luar biasa. Trickle down effect yang diharapkan secara efektif tidak terjadi,
namun dalam kenyataannya malah digantikan oleh backwash effect, yaitu pengurasan sumberdaya secara berlebihan dari
wilayah hinterland.
Ketidakefisienan
di bidang administrasi juga dapat menyebabkan terjadinya disparitas
antarwilayah. Wilayah – wilayah yang administrasinya efisien akan mampu
mengundang investasi, karena perijinannya tidak terlalu rumit. Sebaliknya
daerah dengan kinerja administrasi buruk tidak diminati investor. Hal itulah
yang menjadi salah satu alasan mengapa para investor kurang terdorong untuk
menanamkan investasinya di daerah – daerah Indonesia, yaitu karena perijinannya
yang terlalu rumit dan berbelit – belit.
Faktor
– faktor ekonomi yang menyebabkan terjadinya disparitas antarwilayah di
antaranya dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
1.
Faktor ekonomi yang terkait dengan
perbedaan kuantitas dan kualitas dari faktor produksi yang dimiliki seperti
lahan, infrastruktur, tenaga kerja, modal, organisasi, dan perusahaan.
2.
Faktor ekonomi yang terkait dengan
akumulasi dari berbagai faktor. Salah satu contohnya adalah lingkaran setan
kemiskinan (cumulative causation of
poverty propensity).
3.
Faktor ekonomi yang terkait denagn pasar bebas dan pengaruhnya pada spread effect dan backwash effect. Spread effect yang diharapkan terjadi, ternyata
lebih lemah dibandingkan dengan backwash
effect. Hal ini mengakibatkan wilayah atau kawasan yang beruntung akan
semakin berkembang, sedangkan wilayah atau kawasan yang kurang beruntung akan
semakin tertinggal.
4.
Faktor ekonomi yang terkait dengan
distorsi pasar seperti immobilitas, kebijakan harga, keterbatasan spesialisasi,
keterbatasan keterampilan tenaga kerja, dan sebagainya.
E.
Upaya Untuk
Membangun Keterkaitan Dan Mengatasi Masalah Disparitas Antar wilayah
Untuk
membangun keterkaitan antarwilayah dan mengurangi terjadinya disparitas
antarwilayah, maka secara umum ada beberapa upaya yang dapat dilakuakan secara
simultan antara lain :
1.
Mendorong pemerataan investasi.
Investasi harus terjadi
pada semua sektor dan semua wilayah secara simultan sehingga infrastruktur
wilayah bisa bekembang.
2.
Mendorong pemerataan permintaan (demand).
Setiap industri dan
wilayah harus dikembangkan secara simultan sehingga bisa manciptakan demand untuk tiap – tiap produk.
3.
Mendorong pemerataan tabungan.
Tabungan sangat
diperlukan untuk bisa memacu investasi. Apabila jumlah tabungan di suatu wilayah
meningkat, maka potensi investasi juga akan meningkat.
Disparitas
anatarwilayah dapat ditanggulangi dengan beberapa tahapan reformasi ekonomi
yang memperhatikan dimensi spasial (Anwar dan Rustiadi, 1999), yaitu :
Tahap
Pertama
1.
Redistribusi aset (tanah, kapital,
finansial, dan lain – lain).
2.
Pengembangan lembaga dan pasar finansial
di wilayah pedesaan.
3.
Kebijaksanaan insentif lapangan kerja
yang membatasi migrasi penduduk dari desa ke kota.
4.
Kebijaksanaan mempertahankan nilai tukar
(exchange – rate policy) yang
mendorong ekspor pertanian menjadi selalu kompetitif.
5.
Pengendalin sebagian (partial controlled) melalui
kebijaksanaan perpajakan dan monitoring kepada lalu – lintas devisa dan modal.
Tahap
kedua
1.
Pembangunan regional bebasis pada
pemanfaatan sumberdaya wilayah / kawasan berdasarkan keunggulan komparatif
masing – masing wilayah.
2.
Kebijaksanaan (insentif fiskal)
mendorong produksi dan distribusi lokasi kegiatan ekonomi ke arah wilayah
perdesaan.
3.
Investasi dalam human capital dan social
capital serta teknologi berbasis perdesaan yang lebih kuat dengan membangun
trust fund di daerah – daerah untuk
dapat membiayai pembangunan dua kapital di atas.
4.
Industrialisasi berbasis di wilayah
perdesaan / pertanian (melalui pembangunan sistem mikropolitan atau agropolitan),
seperti :
-
Industri pengolahan makanan dan pakaian.
-
Industri pengolahan pertanian lain.
-
Industri peralatan dan input – input
pertanian, serta barang konsumsi lain.
Secara
berangsur hal ini akan mengurangi disparitas antarwilayah / kawasan dan meningkatkan
pertumbuhan ekonomi secara lebih menyeluruh.
BAB
III
PENUTUP
A.
Simpulan
Dari
penjelasan yang telah dikemukakan di atas, sangat jelas bahwa
ketidakberimbangan pembangunan spasial memerlukan perhatian yang serius serta
menyangkut dimensi pembangunan yang lebih luas. Pengalaman – pengalaman
kebijakan pembangunan regional baik dalam bentuk yang eksplisit maupun
implisit, dapat dirangkum sebagai berikut :
Pertama, di
negara – negara maju, disparitas spasial dari proses pembangunan telah terjadi namun
tidak begitu mengkhawatirkan karena gap antara
standar hidup di daerah perdesaan dan perkotaan di negara – negara ini tidak
terlalu lebar.
Kedua, penyebaran
aktivitas industri di daerah pedalaman negara maju terjadi justru setelah kecenderungan
polarisasi melemah. Bentuk penyebaran biasanya dalam bentuk absis (axial) atau bentuk koridor (corridor).
Ketiga, di
negara – negara yang sedang berkembang, disparitas pembangunan regional terjadi
cukup nyata. Gap pendapatan dan mutu
hidup di wilayah maju dan wilayah terbelakang cukup lebar. Kemiskinan,
pengangguran dan mutu hidup yang rendah di wilayah terbelakang cukup tinngi.
Tekanan penduduk yang tinggi dan ketidaksempurnaan pasar merupakan sebagian
alasan disparitas pembangunan regional yang terus – menerus.
Pengalaman
pembangunan di Indonesia dan India menunjukkan bahwa pendapatan per kapita,
urbanisasi dan pertumbuhan sektor manufaktur saling berhubungan dengan erat.
Provinsi / Kabupaten dan negara – negara bagian yang mempunyai pendapatan per
kapita yang tinggi mempunyai tingkat urbanisasi yang tinggi dan juga proporsi
sektor manufaktur yang tinggi. Di samping itu, dampak pertumbuhan sektoral
lebih menonjol daripada dampak intervensi kebijakan, seperti ditunjukkan oleh
pertumbuhan sektor – sektor yang berbeda di tingakat daerah atau negara bagian
dan dampaknya pada proses pembangunan regional.
Lebih
jauh lagi ekspansi yang nyata dan pertumbuhan lokasi – lokasi industri terjadi
di sekitar kota – kota metroplolitan dan kota – kota besar dan sepanjang beberapa
rute transportasi nasional yang menghubungkan kota – kota besar.
a.
Disparitas pembangunan ada hampir di
semua negara tanpa memandang status pembangunan mereka. Berbagai pengalaman
intervensi di berbagai negara merupakan pengalaman yang cukup baik untuk
dipelajari. Oleh karena itu, diperlukan perencanaan yang hati – hati ketika
melakuakan berbagai bentuk intervensi, karena dampak – dampaknya mungkin
memakan waktu yang lama.
b.
Ketergantungan yang berlebihan pada
industrialisasi untuk mengurangi disparitas spasial pembangunan merupakan
strategi yang tidak efisien. Seperti tampak dari pengalaman pembangunan, dari
berbagai insentif yang ada, ternyata industri – industri yang dapat berkembang
secara efektif terutama hanya pada daerah – daerah yang berdekatan dengan
metropolitan, sepanjang koridor transportasi, sedangkan wilayah – wilayah
terbelakang justru semakin jauh tertinggal.
c.
Untuk wilayah – wilayah terbelakang yang
lain, strategi pembangunan sebaiknya didasarkan pada keunggulan kompetitif
sektoral mereka (sektor basis). Keunggulan sektoral semacam itu seharusnya
diidentifikasi terlebih dahulu dan kemudian menjadi subjek ukuran promosi. Hal
ini akan mengurangi ketergantungan yang berlebihan pada industrialisasi sebagai
ukuran pembangunan berimbang antarwilayah.
B.
Saran
Optimalisasi
pemanfaatan potensi yang ada, pengefektifan dan mengembangkan upaya penarikan
infestasi, peningkatan produktifitas kegiatan ekonomi wilayah, agar kegiatan
perekonomian yang berkembang mampu memberikan manfaat yang lebih bagi pengembangan
wilayah.
DAFTAR
PUSTAKA
Anwar,
A. Dan E. Rustiadi 1999. Desntralisasi
spasial melalui pembangunan agrropolitan dengan mereplikasi kota – kota
menengah – kecil di wilayah perdesaan. Makalah pada lokakarya Pendayagunaan
Sumberdaya Pembangunan Wilayah Provinsi Riau. Pekanbaru 7 – 8 Oktober.
Rustiadi,
E. Dan S. Hadi 2005. Kawasan Agropolitan
: Konsep Pembangunan Desa – Kota Berimbang. Cresspent Press.
Pengalaman pembangunan di Indonesia dan India menunjukkan bahwa pendapatan per kapita, urbanisasi dan pertumbuhan sektor manufaktur saling berhubungan dengan erat. Provinsi / Kabupaten dan negara – negara bagian yang mempunyai pendapatan per kapita yang tinggi mempunyai tingkat urbanisasi yang tinggi dan juga proporsi sektor manufaktur yang tinggi. Di samping itu, dampak pertumbuhan sektoral lebih menonjol daripada dampak intervensi kebijakan, seperti ditunjukkan oleh pertumbuhan sektor – sektor yang berbeda di tingakat daerah atau negara bagian dan dampaknya pada proses pembangunan regional. By : Ilmu Pengetahuan Geografi
BalasHapusMetode penulisan nya?
BalasHapus